Waktu terus berjalan dan pendirian organisasi tersebut belum
juga terwujud. Kiai Hasyim Asy’ari masih menunggu kemantapan hati. Sementara
itu keinginannya untuk bertemu dengan Kiai Kholil sepertinya terbaca oleh mata
batin gurunya itu. Maka sekali lagi santri As’ad dipanggil untuk menghadap.
Kali ini As’ad akan diutus untuk memberikan tasbih Kiai Kholil kepada Kiai
Hasyim.
Lalu berangkatlah santri As’ad ke Tebuireng untuk kedua
kalinya. Dalam perjalanan ia sangat kelelahan, kepansan, kehausan, dan kelaparan.
Santri As’ad bahkan sering dikira anak muda yang gila, karena lehernya
berkalung tasbih ukuran lumayan besar, dan bibirnya sering komat-kamit. Tapi
akhirnya sampai juga ia di Tebuireng.
“Kawula diutus Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar
santri As’ad sambal menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di
lehernya. Selama perjalanan, As’ad belum pernah sekalipun menyentuh tasbih itu,
meskipun perjalanan dari Bangkalan menuju sangat jauh dan banyak rintangan.
Tidak hanya itu, santri As’ad bahkan rela tidak mandi selama
dalam perjalanan, sebab ia khawatir tasbihnya akan tersentuh. Jadilah posisi
tasbih tidak berubah sama sekali. Ia memiliki prinsip, “kalung ini yang menaruh
adalah Kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kiai.”
“Terimakasih, Terimakasih.”
Tak lama kemudian Kiai Hasyim membungkukkan badan untuk
mengambil tasbih itu langsung di lehernya santri As’ad. Setelah tasbih
benar-benar pindah ke tangan Kiai Hasyim, santri As’ad berkata,
“Maaf Kiai, Kiai Kholil meminta untuk mengamalkan wirid ya
Jabbar ya Qahhar di setiap waktu, khususnya setelah shalat rawatib.”
Ketika mendengar pesan itu entah kenapa jantung Kiai Hasyim
tiba-tiba berdegub kencang, dan tubuhnya bergetar. “Keinginan untuk membentuk Jam’iyyah sepertinya sudah saatnya,”
ujarnya lirih.
Setelah kedatangan As’ad untuk kedua kalinya inilah
keinginan Kiai Hasyim untuk mewujudkan pendirian jam’iyyah makin kuat. Ia telah menangkap isyarat bahwa gurunya tidak
keberatan jika ia bersama-sama kawannya mendirikan sebuah organisasi atau jam’iyyah. Kiai Hasyim menganggap inilah
jawaban shalat istikharahnya.
Kebulatan tekadnya itu segera dikabarkan kepada Kiai Wahab
Hasbullah dan Kiai Bisri Sansuri. Betapa gembiranya dua santri Kiai Hasyim itu,
sebab mereka telah menunggu cukup lama. Lalu, disusunlah rencana untuk
mengundang sejumlah kiai, baik dari Jawa maupun Madura. Pertemuan dihadiri oleh
inisiator jam’iyyah yaitu KH. A.
Wahab Hasbullah (Tambak Beras), KH. Bisri Sansuri (Denanyar), KH. Ridwan
(Surabaya), KH. R. Asnawi (Kudus), KH. R. Hambali (Kudus), KH. Nawawi (Pasuruan),
KH. Nachrawi (Malang), dan KH. Durumuntaha (Bangkalan). Mereka berkumpul di
jalan Kebondalem, Surabaya.
Setelah bermusyawarah cukup lama, akhirnya diputuskan nama “Komite
Merembuk Hijaz” diganti menjadi “Komite Hijaz”, kemudian nama itu diganti lagi
dengan “Nahdlatul ‘Ulama”, tepat 31 Januari 1926, yang bertepatan dengan 16
Rajab 1344 H.
Jadilah jam’iyyah
yang diharap-harapkan terbentuk. Sidang memutuskan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai
Rais Akbar, sedangkan Kiai Hasan Gipo ditunjuk sebagai Ketua Tanfidziyah. Nama jam’iyyah tercetus dari KH. Alwi Abdul
Aziz yaitu Nahdlatul ‘Ulama.
*dikutip dari buku Penakluk Badai, penulis : Aguk Irawan MN.
------------------
ila muassis Nahdltaul Ulama alfatichah....
------------------
ila muassis Nahdltaul Ulama alfatichah....
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan beri komentar untuk postingan KMNU UII