
Islam sedang di persimpangan jalan, di sisi lain ada juga yang
menganggapnya sebuah agama yang harus dipelihara bukan dikomersialkan.
Akhir-akhir ini pemerintah dan
masyarakat Indonesia digegerkan dengan berita tentang ibadah haji tahun 2015,
yakni robohnya crane di Mesjidil Haram dan desak-desakan di Mina. Perbincangan
dunia merespon tragedi besar tersebut. Baru-baru ini menurut data dari tim
pencari Armina (Arafah, Muzdalifah dan Mina) sekitar 34 jama’ah haji asal
Indonesia yang ditemukan dalam insiden di Mina. Apalagi ditambah dengan adanya
sekarang isu internasionalisasi (memberikan bagian kepada seluruh negara Islam)
dalam manajemen haji. Ini dilatarbelakangi oleh keteledoran penyelenggara haji
yang kurang dalam mengatur pengelolaan haji.
Jika kita teliti, usul
internasionalisasi ini memang sarat nuansa politik. Mengapa tidak? Di Iran,
wacana internasionalisasi tidak terlepas dari perseteruan Sunni dan Syiah. Iran
sebagai negara basis Syiah terihat paling garang mengkritik dan menuntut Saudi
(Sunni) membuka akses pengelolaan Mekkah dan Madinah. Tidak dipungkiri lagi
akan terjadi propaganda dari negara-negara yang ingin mengambil keuntungan dari
kedua kota suci tersebut. Di Libya, usul internasionalisasi haji ini berasal
dari konflik internalnya yakni keinginan Mendiang Muammar Khadafi untuk menjadi
pemimpin dunia (khalifah). Menurutnya untuk merealisasikan internasionalisasi
haji ini dibutuhkan seorang pemimpin Islam internasional pula layaknya Kristen
Katholik yang mempunyai Paus yang berada di Vatikan.
Semakin banyak ragam aksesoris
paradigma Barat terjun pada dunia menkonversikan nilai tata budaya Islam
sebagai suatu komoditas. Sejarah dan esensi dari Islam sendiri seolah sengaja
dibumi hanguskan dari peradaban, yang ada hanyalah bagaimana menjadikan Islam
sebagai sumber pendapatan untuk memaksimalkan utilitas (kepuasan)
individu. Kita pun bisa melihat dua sisi kota suci (Mekkah dan Madinah) yang
dahulu sebagai tanah perjuangan
Rasulullah SAW membawa Islam sekarang menjadi kota ramai yang dikelilingi
dengan gedung-gedung pencakar langit dan hotel-hotel mewah yang menjadikan
penyaing Ka’bah yang merupakan perhiasan terbesar ummat Islam.
Berbalik menilik sejarah ke
belakang, dahulu di Arab Saudi Ibnu Sa’ud mengadakan kudeta militer kepada
Syarief Husein (pemimpin Turki Utsmani) sehingga runtuhlah kerajaan Turki Utsmani
yang berganti sistem negara menjadi Republik. Kemudian Amerika masuk lalu mengadakan
konsesi dengan Arab Saudi dan melahirkan Arabic Oil of Corporation sampai
sekarang. Disinilah mulai lahirnya persoalan ekonomi dan politik yang
menjadikan Saudi sampai sekarang semacam legitimasi bahwa Saudi adalah negara
penting bagi umat Islam sedunia. Itu kenapa Saudi mati-matian mempertahankan
hak eksklusif sebagai penyelenggara ibadah haji.
Secara de facto, dua kota
tersebut merupakan kekuasaan sah kerajaan Arab Saudi. Keluarga Saudi tentu
tidak mau kehilangan keuntungan ekonomi, politik, prestise keagamaan, dan
sosial sebagai penyelenggara haji. Mereka sebenarnya bukan penduduk asli Hijaz
(Mekkah, Madinah dan Thaif) melainkan dari wilayah Najd (Riyadh dan
sekitarnya), sedangkan penduduk tradisional Mekkah Madinah yang merupakan keturunan
Rasulullah SAW justru diusir dari tanah haram (mulia) tersebut termasuk ulama
besar non-Hambali yang mengajar di dua kota suci tersebut.
Melihat konstelasi politik
sekarang pengelolaan ibadah haji apakah akan dialihkan, sepertinya masih sebuah
kemungkinan. Masih banyak aktor-aktor dibalik peran topeng mereka yang
mengatasnamakan sosial terhadap Muslim di dunia, tetapi mengambil keuntungan
politik dari apa yang mereka kerjakan.
Islam
sedang di persimpangan jalan, dunia menyapa....
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan beri komentar untuk postingan KMNU UII